fbpx
OIF

Resiko dan Bahaya Artificial Intelligence yang Harus Disadari

Halo, Alan Lovers! Seiring perkembangan kecerdasan buatan yang semakin canggih dan merata, suara-suara yang memperingatkan akan bahaya potensial kecerdasan buatan semakin keras terdengar.

“The development of artificial intelligence could spell the end of the human race,” menurut Stephen Hawking, fisikawan teoretis terkenal.

Bukan hanya Stephen Hawking yang memiliki pemikiran ini.

“[AI] scares the hell out of me”, kata pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, dalam konferensi teknologi SXSW. “It’s capable of vastly more than almost anyone knows, and the rate of improvement is exponential.”

Baik itu otomatisasi yang semakin meningkat dalam beberapa jenis pekerjaan, algoritma yang bias terhadap gender dan ras, atau senjata otonom yang beroperasi tanpa pengawasan manusia (hanya sebagian dari banyak contoh), kekhawatiran terjadi pada berbagai sektor. Dan kita masih berada dalam tahap awal dari apa yang sebenarnya bisa dicapai oleh kecerdasan buatan.

Dalam artikel ini, kita akan membahas resiko dan bahaya artificial intelligence yang harus disadari.

1. Lapangan Kerja dan Automatisasi Pekerjaan

Automatisasi pekerjaan yang didukung oleh kecerdasan buatan menjadi perhatian utama seiring adopsi teknologi ini. Diperkirakan 85 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi antara tahun 2020 hingga 2025.

Saat robot AI menjadi lebih cerdas dan terampil, tugas-tugas yang sama akan membutuhkan jumlah pekerja manusia yang lebih sedikit. AI akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada tahun 2025, namun banyak karyawan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk peran teknis ini. Bahkan bisa tertinggal jika perusahaan tidak mengembangkan keterampilan tenaga kerja mereka.

2. Manipulasi dan Disinformasi Sosial

Sebuah laporan tahun 2018 tentang penyalahgunaan potensial kecerdasan buatan mencantumkan manipulasi sosial sebagai salah satu bahaya utama dari kecerdasan buatan. Ketakutan ini menjadi kenyataan saat para politisi mengandalkan platform-platform untuk mempromosikan pandangan mereka. Contohnya adalah Ferdinand Marcos, Jr., yang menggunakan pasukan troll TikTok untuk memperoleh suara dari generasi muda Filipina tahun 2022.

TikTok berjalan dengan menggunakan algoritma kecerdasan buatan yang menyajikan konten-konten terkait dengan media sebelumnya yang telah dilihat oleh pengguna di platform tersebut. Kritik terhadap aplikasi ini menyasar proses ini dan kegagalan algoritma dalam menyaring konten yang berbahaya dan tidak akurat, memunculkan keraguan terhadap kemampuan TikTok untuk melindungi penggunanya dari media berbahaya dan menyesatkan.

Media online dan berita menjadi semakin kabur dengan adanya deepfake yang meresap ke dalam ranah politik dan sosial. Teknologi ini memudahkan penggantian gambar atau video satu tokoh dengan tokoh lainnya. Akibatnya, pelaku yang tidak bertanggung jawab memiliki cara lain untuk menyebarkan informasi yang salah dan propaganda perang, menciptakan skenario mimpi buruk di mana sulit untuk membedakan antara berita yang kredibel dan berita yang salah.

3. Memperlebar Jarak Ketimpangan Sosial-Ekonomi

Kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin melebar akibat hilangnya pekerjaan yang didorong oleh kecerdasan buatan merupakan salah satu alasan keprihatinan, yang mengungkap bias kelas dalam penerapan kecerdasan buatan. Pekerja blue-collar yang melakukan tugas-tugas manual dan berulang telah mengalami penurunan upah hingga 70 persen karena otomatisasi. Sementara itu, pekerja white-collar secara besar-besaran tetap tidak terpengaruh, bahkan ada yang menikmati kenaikan upah.

Klaim bahwa kecerdasan buatan secara tidak langsung mengatasi batasan sosial atau menciptakan lebih banyak lapangan kerja gagal memberikan gambaran lengkap tentang efeknya. Penting untuk mempertimbangkan perbedaan berdasarkan ras, kelas, dan kategori lainnya. Jika tidak, menjadi lebih sulit untuk memahami bagaimana kecerdasan buatan dan otomatisasi memberikan manfaat bagi individu dan kelompok tertentu dengan mengorbankan yang lain.

4. Restrukturisasi Etika Sosial

Selain para teknolog, jurnalis, dan tokoh politik, bahkan pemimpin agama juga mengeluarkan peringatan tentang potensi dampak sosial-ekonomi kecerdasan buatan. Dalam pertemuan di Vatikan pada tahun 2019 yang berjudul “The Common Good in the Digital Age,” Paus Fransiskus memperingatkan tentang kemampuan kecerdasan buatan untuk “circulate tendentious opinions and false data”. Serta menekankan konsekuensi jika teknologi ini berkembang tanpa pengawasan atau pembatasan yang tepat.

Kenaikan cepat alat kecerdasan buatan percakapan seperti ChatGPT memberikan landasan yang lebih kuat untuk kekhawatiran ini. Banyak pengguna yang menggunakan teknologi ini untuk menghindari tugas menulis, mengancam integritas akademik dan kreativitas. Dan bahkan dalam upaya untuk membuat alat ini lebih bersih, OpenAI memanfaatkan tenaga kerja Kenya yang dibayar rendah untuk melakukan pekerjaan tersebut.

5. Krisis Keuangan dan Artificial Intelligence

Resiko dan bahaya artificial intelligence yang terakhir adalah terkait masalah keuangan. Industri keuangan telah menjadi lebih terbuka terhadap keterlibatan teknologi kecerdasan buatan dalam proses keuangan dan perdagangan sehari-hari. Akibatnya, perdagangan algoritmik dapat menjadi penyebab krisis keuangan besar berikutnya di pasar.

Meskipun algoritma kecerdasan buatan tidak terpengaruh oleh penilaian atau emosi manusia, mereka juga tidak mempertimbangkan konteks. Algoritma-algoritma ini kemudian melakukan ribuan perdagangan dengan kecepatan yang luar biasa dengan tujuan menjual beberapa detik kemudian untuk mendapatkan keuntungan kecil. Penjualan ribuan perdagangan semacam itu dapat membuat investor panik dan melakukan hal yang sama. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kejatuhan pasar yang tiba-tiba dan volatilitas pasar yang ekstrem.

Kejadian seperti Flash Crash tahun 2010 dan Knight Capital Flash Crash adalah pengingat tentang apa yang bisa terjadi ketika algoritma perdagangan yang agresif menjadi kacau, terlepas dari apakah perdagangan cepat dan massal itu disengaja.

Hal ini bukan berarti bahwa kecerdasan buatan tidak memberikan kontribusi apa pun bagi dunia keuangan. Sebenarnya, algoritma kecerdasan buatan dapat membantu investor membuat keputusan yang lebih cerdas dan terinformasi di pasar. Namun, organisasi keuangan perlu memastikan bahwa mereka memahami algoritma kecerdasan buatan dan bagaimana algoritma tersebut membuat keputusan.

Tertarik untuk mendapatkan artikel unik lainnya? Ikuti terus Alan Creative. Bukan hanya artikel unik, tetapi kalian juga bisa mendapatkan artikel informatif seputar teknologi hingga digital marketing.

Cari semua kebutuhan konten digital hingga teknologi untuk bisnis dan pemerintah hanya di Alan Creative! Termasuk pembuatan website profesional dengan harga terjangkau!

Sebarkan konten ini jika bermanfaat:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

PORTOFOLIO KAMI:

PRODUK ALAN:

Media Sosial kami:

ARTIKEL POPULER!

Dapatkan info terbaru!

Dapatkan artikel & info terbaru!

Tidak ada spam, hanya artikel dan info terbaru!

KATEGORI ARTIKEL

Banyak artikel lain disini!

Baca artikel lainnya...

Konsultasi aja dulu. Gratis!

Hubungi kami untuk mendapatkan proposal penawaran jika project brief/requirement (dokumen proyek) sudah ada dan lengkap.
Konsultasi yuk ->
Butuh konsultasi?
Hai,

Alan Creative disini, kami berharap anda tersenyum dan bahagia hari ini. Ada yang dapat kami bantu? Jika iya, jangan sungkan menghubungi kami.

Salam hangat,
Alan Creative